MIMPI AGINTA


MIMPI AGINTA

Arti Mimpi Bagi Aginta

Langit biru diangkasa menjadi sebuah pandangan tersendiri bagi kehidupan manusia. Mimpi sebuah pandangan yang melampaui zamannya,karena mimpi itu berada dalam realitas manusia. Hal itu yang terjadi pada Angita gadis mungil, kecil dan imut-imut itu begitu dinamis dalam mimpinya. Karena dia tidak bermimpi dalam tidur, tapi Angita bermimpi dalam ceritanya yang begitu saja terurai dalam kata dan ucapanya yang sangat implusif. Kadang bicaranya yang lincah dan penuh dengan mimpinya itu seakan membawa dirinya pada semangat hidupnya. Karena apa yang dia kata dan apa yang dia kerjakan jauh lebih cepat apa yang dia katakan. Kata-kata yang meluncur dari bibir dengan begitu saja menjadi sebuah gambaran seakan apa yang dikatakan itu memang demikian adanya.

Bicaranya yang lincah dan penuh dengan mimpinya seakan sebuah omong kosong alias seorang pembual. Tapi buat Angita tidak demikian, karena apa yang dia cerita menjadi sebuah gambaran tentang dirinya dan dunianya. Sedangkan apa yang dilakukan tidak sesuai dengan apa yang dia katakan. Dikarenakan keterbatasan fisiknya yang masih kecil. Dan keterbatasan di dalam menghadapi realitas kehidupannya baik di rumah dengan orang tua dan temannya, begitu juga dengan disekolah ada teman dan gurunya. Yang mau tidak mau dia harus mengesampingkan mimpinya. Karena dengan mengedepankan mimpi sama artinya dia harus berhadap dengan orang lain untuk bisa dipahami. Sedangkan dia tidak tahu bagaimana harus memahami apa yang dia katakan dan certitakan. Karena itu semua datang dengan bigitu saja. Seperti angin yang menyejukan tanpa kita tahu bagaimana bentuknya angin.

Hal ini juga mungkin menjadi satu pandangan baginya ketika mengikuti pelajaran. Banyak hal yang harus dikerjakan dan diusahkan sedemikian rupa untuk bisa menyesuaikan dalam proses belajar. Dengan segala macam caranya dia untuk belajar, dan sering menjadi kendala dalam belajarnya adalah kelengkapan alat belajarnya seperti buku tulis, pensil, penghapus dan rautan yang kadang tidak dimiliki. Membuat dirinya harus kembali melihat proses belajar yang harus dilakukannya.

Memang Angita anak biasa saja, tapi keinginan dan kemauan apa yang menjadi keinginannya begitu kuat. Sesuai dengan batas kemampuannya, sehingga apa yang dikatakan tidak bisa dalam membuat tugas atau menjalankan tugas, tapi toh dia kerjakan dengan kesukaaannya. Hal ini memang harus memakai pemahaman yang lebih dialogis dalam proses belajarnya Angita. Kesukaan dengan file bergambar untuk saling bertukaran dengan temannya, Anggi atau lyra menjadi bagian lain yang membuat mimpinya menjadi sebuah kehidupan yang membuat dirinya merasa nyaman.

Mimpi bukan sesuatu yang tidak baik, tapi menjadi bagian hidup yang selalu memberikan warna bagi setiap orang di dalam menjalani hidup yang kadang ada, real dan kadang tidak ada. Sebuah kejenuhan dalam hidup, beratnya kehidupannya. Mimpilah yang membawa dirinya pada kesadaran hidup ini memang harus dijalani.

Begitu juga dengan Angita mengikuti pelajaran dengan begitu saja serasa dalam mimpinya. Apa yang dia ikut dengan implusif, sehingga membuatnya kadan begitu menyenangkan tapi kadang membuat dirinya harus terpenung, entah apa yang dipikirkan dan di mimpikannya. Tapi di dalam kegiatan sekolah Angita termasukan anak yang lumayan, hanya saja warna mimpi dan dinamikan dirinya selalu menjadi warna kehidupannya.

5 thoughts on “MIMPI AGINTA

  1. RETORIKA FALDAN

    Kalau berbicara retorika sama artinya kemampuan berbicara yang mau tidak mau orang akan mengakui bahwa apa yang disampaikan menarik buat orang lain. Itu gambaran dari Faldan anak laki-laki bertubuh kecil ini penuh dengan implusif di dalam geraknya. Karena gerak itu tidak begitu saja dibuat-buat seperti prilaku orang dewasa yang geraknya selalu diperhitungkan sedemikian rupa agar orang lain bisa melihat seperti apa yang dia inginkan. Gerakan Falda dengan begitu cepat dan alami sehingga memberikan impresi pada temannya untuk melihat dirinya pada suatu dunia komunikasi verbal. Karena bahasa tubuhnya begitu saja berbicara tentang apa yang dia rasakan dan alami. Gerakan datang dari dalam dirinya bersamaan dengan kecepatannya dia berbicara. Seolah-olah kata-kata yang terlontarkan begitu saja mengalir deras tanpa ada satu rangkaian dalam struktur kata. Apa yang dilontarkan atau yang diungkapkan itu sudah menjadi bagian dan responsif terhadap apa yang menjadi pandangan dan yang dia rasakan dengan begitu saja.

    Tanggapan yang begitu cepat dan empati yang begitu kuat menjadi bagian dari proses berbicaranya begitu taktis, spontan kadang terkesan mengurui dan terasa seperti gaya bicara orang tua kalau bukan dikatakan orang dewasa. Yang membuat temannya dan orang lain bisa terpengaruh dan bisa memahami apa yang dia katakan. Kalimat dan kata yang keluar kadang memberikan sentuh yang tak terduga. Kalimat anak-anak menjadi tiruan dari sebuah lingkungan di mana ada berinteraksi. Tapi dibalik itu semua apa yang diungkapkan Faldan yang suka banyak bicara dan begitu saja bicaranya memberikan ritme alam yang selalu mengarah pada pemahaman tentang kehidupan sosial. Karena dia suka sekali mengomentari temannya, menasehati temannya, mengkritik temannya, dan mampu berargumentasi pada teman dan kadang gurunya. Seolah-olah Faldan ingin melihat realitas kehidupan ini apa sama dengan apa yang ada di dalam benak pikiran dan perasaannya yang selalu mengelitik, sehingga dia sendiri tidak tahu harus bagaimana.

    Perasaan itu muncul biasanya bila terjadi benturan dengan orang lain baik itu teman maupun gurunya. Seolah dia kembali bertanya tentang dirinya, apakah yang saya katakan ini memang menjadi sebuah pandangan apa yang saya rasakan dan pikirkan. Dan kenapa orang lain menanggapi saya sedemikian rupa sehingga membuat saya tidak mengerti. Tanggapan itu menjadi sebuah gerak yang membuat dirinya begitu dinamis dan orang menganggap tidak bisa diam.

    Gerak dan gaya bicaranya yang begitu cepat dan spontan itu menjadi sebuah ekspresi dirinya selalu berpikir tentang sesuatu yang dia sendiri tidak mengerti. Dengan begitu gerak dan bicaranya tidak pernah selesai dan terputus. Karena ada saja yang menjadi bahan bicaranya, seolah kata dan kalimat menghanyutkan dirinya pada sebuah pandangan hidup yang lain bagi dirinya. Dengan demikian membuat dirinya setiap saat selalu bergairah untuk menyamput kehidupan di masyarakat, yang berkaitan dengan teman dan gurunya.

    Hal itu yang membuat dirinya lupa bahwa Faldan harus mengikuti pelajaran yang formal dan normatif. Membuat dirinya banyak tertinggal dalam berbagai macam materi pelajarannya, mulai dari berhitung, membaca, menulis atau pelajaran lainnya. Membuat pelajaran itu berbenturan dengan dirinya, apa yang harus dikerjakan menjadi sebuah penghalang baginya untuk mengekspresikan dirinya. Ekspresi itu bukan yang mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiran dan persaaannya. Tapi apa yang dia pikirkan dan rasakan untuk diungkapkan, tapi hal itu seringkali berbenturan dengan proses belajar formal yang cenderung normatif.

    Tapi Faldan anak bertubuh kecil dan menjadi besar karena gaya bicaranya yang begitu memukau temannya. Seolah dialah orang yang paling tahu tentang apa yang dia katakan. Faldan menjadi anak yang pintar dan cerdas kalau urusan berbicara, berdebat dan beretorika. Seperti orang dewasa di dalam menyampaikan gagasannya tentang sesuatu yang luaaaar biasa. Tapi kalau dihadapkan pelajaran formal yang normatif seperti anak tertinggal yang malas belajar.

  2. FIKRI YANG TERPIKIRKAN

    Tipe anak yang kalem dan pendiam tapi luar biasa tidak bisa diamnya. Seolah kalimat yang menggambarkan Fikri tidak singkron kalem tapi kho tidak bisa diam, usil dan iseng. Tapi itu realitas prilaku yang ditampilan Fikri pada teman dan gurunya. Mungkin kalau orang tuanya sudah tahu bahwa anaknya susah diatur atau bahasa klisenya anak nakal. Tapi itulah sebuah tanggapan yang tidak bisa dihindari oleh seorang anak di dalam lingkungan kehidupannya. Pada hal dia sendiri tidak mau seperti apa yang dikatakan orang yang nakal, iseng dan usil. Tapi apa yang ingin dikatakannya adalah bahwa apa yang dilakukan sebagai sebuah respon di dalam pergaulan hidup yang coba dia tawarkan pada teman-temannya. Karena dia menyadari betul bahwa di dalam bergaul atau berteman dengan orang lain tidak begitu saja berdiam diri. Harus ada respon dan apresiasinya pada orang lain. Jadi keisengannya hanya sebuah tegur sapa yang belum bisa dipahami oleh orang lain.

    Karena kalau mau melihat dan sedikit memahami bisa dipahami bahwa apa yang dilakukan Fikri itu adalah sebuah dinamikan pergaulan yang harus dilakukan. Untuk bisa melihat sejauh mana dia bisa berinteraksi dengan temannya. Anak ini begitu memahami tentang apa yang dirasakan oleh orang lain. Karena dengan kekalemannya itu menjadi sebuah tanda bahwa dia memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan temannya, dan dia tahu apa yang harus dilakukan di dalam sebuah lingkungannya. Kadang keputusan itu yang membuat dirinya menjadi anak yang tidak tidak bisa diam, bandel. Tapi itu sebuah ungkapkan yang harus dilakukan. Karena kalau tidak dilakukan orang lain tidak akan mengerti apa yang sebenarnya menjadi pikirannya. Itulah cara berpikir Fikri dalam realitas kehidupannya baik dirumah maupun disekolah.

    Seorang anak yang berrtubuh agar besar dan selalu mencoba untuk mengikuti pelajaran formal dengan berupaya untuk bisa memenuhinya. Walaupun dia sendiri agak kerepotan untuk mengikutinya. Karena pikirannya begitu saja mengeluarkan segala yang dia tidak kehendakinya. Kata dan kalimatnya sangat irit tapi tindakan dan responnya sangat pemurah hati, baik hati dan perhatian pada temannya, yang bisa dikatakan sebagai anak yang kalem tapi baik hati.

    Fikri dijauh lubuk hatinya sebenarnya anak yang baik, bertanggung jawab dan sangat patuh dengan apa yang menjadi kesepakatan. Tapi lagi-lagi dia selalu melihat lingkungannya yang tidak konsisten dalam mengetrapkan kesepakatannya itu membuat diri secara responsif membandel. Anak yang perhatian pada teman semata-mata ingin melihat temannya senang. Fikri yang suka berpikir dengan caranya sendiri itu selalu menjadi dirinya menjadi anak yang bijak dan kadang terlihat dewasa terhadap temannya. Aneh memang terlihat bahwa anak seperti begitu saja bisa belajar tentang psikologi sosial secara intuitif.

  3. FAJAR YANG TIDAK TERBIT FAJARNYA

    Bertubuh jenjang, tinggi seperti anak beranjak remaja, ganteng seperti anak yang begitu menguasai apa yang menjadi permasalahan yang dia hadapi. Memang kedewasaan tidak terikat pada sebuah umur tapi memang cara pandangan dan melihat kehidupan ini. Hal itu yang diperlihatkan pada Fajar, bahwa kemampuan di dalam melihat lingkungan sosial sangat pandai. Tapi karena ketidak tahuannya Fajar itu terpengaruh oleh lingkungannya baik dirumah, sekolah dan di masyarakat. Di tambah lagi dengan pandanga orang lain terhadap dirinya, sebuah pergolakan yang terjadi di dalam dirinya. Dan Fajar sendiri tidak tahu harus bagaimana dia melakukan karena dia sendiri tidak pernah diberikan pelajaran dalam arti yang sebenarnya. Karena dia diperlakukan seperti anak kecil dibawah umur yang sebenarnya. Karena dia anak baik maka dia mengikuti pola lingkungannya, sehingga yang terjadi pada Fajar adalah berprilaku seperti anak kecil untuk bisa singkron dengan lingkungan yang mengingginkan dirinya seperti itu. Karena dia sendiri sebenarnnya sudah ingin beranjak dari kehidupan yang baru. Tapi lingkungan membentuknya menjadi berkarktrer kekanak-kanakan. Seolah-olah Fajar tersandra pada kehidupan orang dewasa yang tidak dewasa sehingga membuat dirinya seolah-olah tidak berkembang.

    Karena kalau mau dilihat seorang Fajar adalah anak yang mau belajar kalau memang lingkungan sosial itu mendukungnya. Karena kelemahan dan lingkungan sosial yang lemah membuat dirinya makin lemah dalam melihat permasalahan. Tapi bukan berarti dia seorang lemah. Dia adalah seorang anak yang mempunyai sikap dan pendiri yang kuat, tapi kembali lagi sikap itu dipatahkan oleh lingkungannya. Kadang membuat dia menjadi anak yang cengeng dan kasar kalau ada orang yang membuat dirinya menjadi terusik.

    Namun sebaliknya Fajar adalah anak yang baik, mencoba mengerti apa yang di-inginkan orang lain, seperti pada gurunya, tapi kembali lagi dia sangat terpengaruh oleh lingkungan, temannya. Membuat dirinya tidak mudah untuk bisa mengikuti proses belajar formal dan normatif. Pada hal dia mempunyai kesungguhan dalam satu sisi, dia mempunyai keingin bisa untuk belajar seperti orang lain atau temannya. Tapi dia seolah-olah sudah tersandra pada paradigma orang lain anak yang susah menguasai pelajaran, karena kemampuan belajarnya sangat lembah, kalau tidak mau dibilang terbelakang. Tapi kembali lagi bahwa dia adalah anak yang normal seperti anak-anak lainnya. Tapi karena empati dan kecerdasan sosialnya yang tidak dipahami itu menjadikan dirinya terjerumus pada pola kehidupan yang tidak sesuai dengan dirinya. Membuat dirinya seperti Fajar yang tidak pernah terbit difajar hari.

    Sebuah pemandangan yang sangat mengusik kehidupan sosial di dalam masyarakat kita. Persoalan pendidikan dan persoalan anak itu tidak bisa begitu saja seperti fajar yang menyambut kehidupan dengan riang dan gembira untuk bisa menyongsong masa depan yang gemilang sampai tenggelam matahari diufuk barat. Fajar adalah seorang anak yang harus dikembalikan pada paradigma anak yang tumbuh dan berkembang untuk bisa menemukan diri dan duniannya. Untuk bisa mengerti diri dan realitas sosial. Keterlambatan dalam belajar hanya sebuah dampak dari paradigma yang salah dalam melihat diri seorang anak yang bernama Fajar.

  4. KEBERANIAN HAFIDZ KETAKUTANYA

    Gerak yang lincah dan mudah begitu saja berpindah dengan cepat dari masalah satu ke masalah berikutnya. Begitu juga ketempat satu ketempat lainnya. Kekarakter satu kekarakter berikutnya. Hafidz mudah saja berubah sesuai dengan dorongan hatinya, mau kemana dia berubah. Begitu juga masalah karakternya dengan gagahnya dia bisa bergerak dengan berani tapi pada saat tertentu di tidak berani melompat. Seolah ada sesuatu yang membuat dirinya begitu saja berani dan dengan mudah saja dia menjadi orang yang penakut. Sebuah perubahan yang begitu cepat dan begitu saja dipahami sebagai anak yang tidak bisa diam. Karena memang anak ini tidak bisa diam secara fisik, tapi apakah benar dia tidak bisa diam dalam kepribadiannya. Hal itu perlu ada sebuah pemahaman dan pendalaman kenapa Hafidz begitu saja berubah.

    Kalau mau melihat postur tubuhnya Hafidz anak ini agak gemuk dan pendek, namun tidak mengurangi kelincahan dan keberaniannya dalam bergerak atau melakukan gerakan. Seperti memanjat, bergelantungan di bambu dan melompat begitu saja,sudah menjadi sebuah kebiasaan. Hal ini memang sudah menjadi kebiasaan anak Merdeka Sekolah berolah raga dengan bergelantungan dan memanjat pohon. Sebuah peluang yang dibuka pada anak-anak untuk bisa merespon lingkungan yang begitu saja memberikan sesuatu pada setiap orang. Tinggal setiap orang bisa memaknakan lingkungkan itu buat apa saja, sesuai dengan apa yang diinginkan, apa yang menjadi tujuannya, dan apa yang bisa di daya gunakannya. Hal itu yang terjadi di Merdeka Sekolah merespon lingkungan sosial dan alam ini dengan dunia anak. Bergelantungan, memanjat pohon, menemukan ular, dihisap lintah, menemukan kepiting dan bermain di pematang sawah dan saluran air. Semua itu menjadi lebih memperkayaa dunia anak dengan segala macam keinginan dan imajinasinya.

    Hal ini yang dilakukan Hafidz dalam merespon lingkungan Merdeka Sekolah dia dengan lincah dan beraninya bergelantungan dan berjalan dititian bambu dengan tangannya lalu meloncat. Begitu juga dia mampu memanjat pohon sampai ujung ketinggian pohon itu. Dan Hafidz pernah jatuh dari pohon dengan luka di mulutnya. Tapi alhamdullillah Hafidz masih menguasai dirinya. Artinya luka yang dideritanya itu tidak menjadi persoalan besar karena dia hanya menangis sebentar, selanjutnya di menahannya atau tidak merasakan sakit. Itulah yang menjadi kekuatan dan antibody yang dipunyai Hafidz, pribadi yang kuat dan teguh. Karena kepribadiannya yang kuat kadang dia terkesan anak dewasa, bahasa yang dipergunakan atau kosakatanya, kosakata dewasa, entah dapat dari mana. Kosakata dewasa yang positif, seolah anak ini begitu luas pergaulannya, dan seolah dia begitu mengenal lingkungannya, seolah dia mudah beradaptasi dengan lingkuangannya. Hal itu dia buktikan ketika di bawa ke rumah sakit dan ada anak yang sakit dia dengan entengnya dan lupa dengan sakitnya mengomentari anak itu dengan bahasa dewasa.

    Memang dalam segi pergaulan Hafidz lebih unggul dari teman-temannya, meskipun dia masih anak-anak. Penampilan dan gaya menghadapi orang dengan mudahnya dia bisa berkomunikasi. Meskipun dia baru mengenal huruf dan merangkai kata-kata yang terbata-bata bukan menjadi halangan baginya untuk merangkai kata-kata dalam berbicaranya. Begitu juga dengan pelajaran lainnya Hafidz tergolong anak biasa-biasa saja. Mau mengikuti pelajaran sesuai dengan kemampuannya, kalau tidak mampu biasanya dimenjadi ide untuk menghidar dari tugas dan pelajaran dengan gaya yang khas. Hal ini bisa mencermikan anak ini memang membuat kepribadian yang kuat dan mampu melihat permasalahan dengan apa yang dia mampu. Karena dia menyadari posisi dirinya di dalam sebuah lingkungan, dalam hal ini lingkungan sekolah. Apa-apa yang dia bisa kerjakan maka dia akan mengerjakan, tapi apa-apa yang dia tidak bisa kerjakan dia tidak mungkin mengerjakan. Tapi kalau di dampingi dan dimotivasi dia baru bergerak, seolah dia ingin menyatakan pada orang lain lihatlah diri saya dengan apa adanya. Bukan karena tidak mampu atau tidak mau mengikuti pelajaran. Tapi karena tidak mengerti apa yang harus dia kerjakan kalau dia memang tidak mengerti, hal inilah yang menjadi pengamatan orang tua dan guru dalam melihat Hafidz dengan apa adanya.

    Keberanian yang diaungkapkan hanya sebuah solusi ketakutan yang coba dia atasi dengan caranya sendiri. Cara yang diluar kesadarannya untuk melakukan apa-apa yang menjadi jalan keluarnya. Sebuah kesadaran diri yang begitu saja dilakukan tanpa tahu apa yang harus dikerjakan oleh Hafidz.

  5. MIKAIL ABUBAKAR DENGAN DUNIANYA

    Sebuah realita yang dilihatnya dengan begitu saja, seolah dunia ini adalah duniannya. Jadi apa yang dia pikirkan seolah juga dipikirkan oleh orang lain. Namun hal itu tidak semudah apa yang dia banyangkan tentang sebuah realitas yang dihadapinya. Sehingga Mikail dengan begitu saja mengalami banyak hambatan dari lingkungannya. Terutama dalam proses belajar, kalau sudah begitu, maka Mikail harus mengadakan perubahan dan cara berpikirnya tidak seperti apa yang dia banyangkan, namun kelihatnya dia bisa mengadakan kompromi dengan orang lain dengan cara bertahap dengan tidak menghilangkan pandangan dan pikirnnya tentang apa yang dia pikirkan tentang realitas. Hal ini selalu berjalan dengan berbagai macam tahapannya. Dengan begitu dia lebih mudah menangkap realitas secara lebih baik. Dia bisa melihat teman sebagai temannya, tanpa mengurai dunianya sendirinya, temannya seolah-olah diajak kepada dunianya. Tanpa mengurangi apa yang menjadi sebuah kondisi sosial diantara mereka, yaitu dengan teman-temannya. Hal ini terlihat berjalan dengan begitu saja tapi mengurangi apa yang menjadi pikiran dan banyangannya tentang realitas sosial, yaitu teman-temannya atau gurunya. Dengan secara bertahap dia coba mengerti apa yang menjadi pikiran orang lain dan pikirannya sendiri. Sehingga dia mencoba untuk disingkronisasi pikiran orang lain atau realitas sosial dan lingkungannya untuk bisa cocok dengan pikirannya. Sebuah upaya yang dilakukan dengan begitu saja tanpa menjadi sebuah kesadaran. Bahwa apa yang dilakukan itu memang menjadi sebuah dialogis yang memerlukan upaya-upaya yang tidak mudah, tapi dia selalu melakukan hal itu.

    Dunia bermainnya selalu membawa dirinya dunia pemikirannya untuk selalu melihat apa yang menjadi bayangannya itu memang harus bisa dilakukan. Karena dengan bermain itu membuat dirinya dengan begitu saja mampu bisa mengikuti apa yang menjadi inginan orang lain. Hal ini kelihatnnya ditrapkan dalam proses belajar di Merdeka Sekolah. Mikail bisa mengikuti tapi tidak begitu saja dia mengikuti belajar, karena dia harus melihat kebutuhan dirinya dalam mata pelajaran yang diberikan gurunya. Apakah cocok dengan apa yang dipikirkan dan dirasakan, sudah tentu pemikiran yang dilakukan Mikail adalah pemikiran anak-anak yang semua itu diluar kesadarannnya. Hal ini yang membuat dirinya menjadi salah pengertian dengan gurunya. Karena apa yang dia pikirkan dan apa yang dipikiran gurunya untuk mengikuti pelajaran masih dalam tahapan penjajakan dalam dunianya. Kadang tidak begitu saja mengikuti pelajaran seperti yang lain. Begitu saja ditidak bisa memberikan sesuatu pada teman tanpa seijin dengan apa yang menjadi pikirannya. Karena dunia sudah dibentuk dengan pikirannya begitu saja tanpa dia sadari bahwa hal itu menjadi tidak sinkron dengan orang lain dan lingkungannya. Tapi itulah yang selalu menjadi dunianya untuk melihat diri dan realita yang dilihat dan dipahami tidak selalu sama dengan apa yang menjadi pikirannya.

    Kesukaan dengan ketrampilan dan menggambar ini bukan berarti dia sedang membuat ketrampialan atau sedang menggambar. Tapi ketika dia sedang membuat sesuatu atau menggambar itu sama artinya dia sedang menjelajahi pikiran dan perasaannya terhadapa lingkungan dan orang lain yang sedang merespon dirinya. Karena dengan gambar seolah-olah dia sedang mencari sebuah pemahaman apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya atau apa yang terjadi pada orang lain. Sehingga orang lain merespon dirinya sedemikian rupanya. Inilah yang selalu menjadi sebuah pertanyaan yang berada diluar kesadarannya. Karena dunianya adalah dunia bermain yang selalu membuat dirinya begitu mudah dapat melihat dunia ini dengan caranya sendiri. Lingkungan dan teman-temannya dengan begitu saja mengikuti apa yang menjadi pikirannya dan begitu saja dia akan mengikuti ketika orang lain sepaham dengan pikirannya. Seolah-olah dengan pikirannya itu dia bisa memberikan banyak sesuatu pada orang lain.

    Karena itu kalau belajar disekolah terlihat hanya sebagai sebuah pengertian yang coba ditunjukkan pada dirinya. Walapun dia sendiri tidak tahu kenapa harus demikian, dia melakkannya. Seolah realitas pikiran dan lingkungannya sedang adalah sebuah dialogis yang selalu menjadi kesamaan, agar dia mampu melihat realitas kehidupan dengan cara dunianya. Hal ini yang terlihat menjadi sebuah permasalahan bagi Mikail. Tapi ini adalah sebuah tahapan yang harus dilakukanya dalam tumbuh kembang dirinya dalam melihat realitas sosial dan lingkungan yang mempunyai dunia sendiri, bukan dunianya.

Tinggalkan Balasan ke tri aru Batalkan balasan