Renungan Guru


RENUNGAN SEORANG GURU

guru-renung

Renung-Ku untuk Anak-anak

‘Pak, bapak ini gimana sih, anaknya orang diurus sampek mati-matian anaknya sendiri tidak diurus …’ suara lantang dan meninggi seorang ibu terhadap suaminya yang seorang guru sekolah biasa-biasa saja.

Lelaki itu menunduk diam dan sedikit-sedikit menghela nafas sambil menggaruk-garuk kepalanya. Perlahan dia beranjak meninggalkan rumahnya yang sempit diantara sela-sela lengangnya kehidupan kampung pinggiran. Jalanya gontai, namun dia terus berjalan menuju arah yang tak beraturan. Sesekali dia menengok kebelakang, karena terdengar suara pecahan piring dan lemparan benda-benda perabotan. Namun dia memilih terus melangkah menghindar dari tekanan keadaan dan panasnya suasana kediaman.

Akhirnya lelaki kurus itu berhenti, setelah lelah berjalan menjauh dari galaunya perasaan. Tanah yang menggunduk agak tinggi dan ada saung sederhana tempat berteduh, mendinginkan hati yang sesak dengan selaksa tuntutan. Lelaki itu menerawang memandang kedepan lepas mengembara di lautan asa. Perlahan dia menata renungan dari berjubelnya permasalahan.

‘Mungkin benar apa yang dikatakan oleh istriku, bahwa aku terlalu peduli pada anak-anak sekolahku sehingga, Lukman, Jaja dan Nita terabaikan ?’. Selama ini aku merasa, ibunya telah cukup untuk mendidik anak-anak, toh prestasi anak-anakku juga tidak mengecewakan. Sementara di sekolahku, anak-anak susah berkembang. Nurdin walau sudah 3 tahun tinggal di kelas 1 masih juga belum bisa membaca, Praptono masih sering bolos karena belum punya buku tulis dan bajunya, Nanik pendiamnya tidak ketulungan, Yayah hari ini di ajari Iqro’2 besoknya Iqro’ 1 nya lupa dan hanya beberapa murid saja yang nampak bisa mengikuti standar yang ada. Aku sangat menyayangi mereka dan keyakinanku bahwa anak-anak akan bisa menjalankan pelajarannya. Aku sangat kasihan pada mereka lahir dari keluarga yang apa adanya namun masih pingin sekolah dengan segala apa adanya.

Aku mencoba untuk mengenalnya satu persatu, mendekat dan berbicara, terkadang harus datang kerumahnya. Kalau ada rezeki sedikit, aku rela menyisihkan untuk membelikan kue atau buku untuk anak-anak sekolahku. Disekolah aku mencoba untuk meyakinkan Kepala Sekolah bahwa anak-anak kita masih bisa bersekolah. Anak-anak sepatutnya untuk terus didorong dan diberi kesempatan. Terkadang saya juga menulis surat ke Kandep untuk meminta agar anak-anak dapat diberikan alat-alat olah raga dan musik agar mewarnai cara belajarnya, supaya tidak monoton hari-hari hanya belajar membaca, menulis dan berhitung.

Namun upayaku itu ternyata tidak semulus yang aku bayangkan. Kejadian yang barusan, mungkin puncak kekesalan istriku, setelah sekian waktu aku tak terlalu pedulikan mereka. Sekarang saya berfikir lagi, kalau aku tak curahkan pikiran, waktu dan tenagaku untuk mendidik lebih serius anak-anak sekolahku, maka bagaimana nasib mereka. Apakah Nurdin harus tinggal kelas lagi hingga 4 tahun dikelas 1, Praptono masih harus enjoy dengan bolos sekolah dan bajunya tetep kumal dan kotor, Nanik tetep membisu dan Yayah masih terus lupa ingat-lupa ingat. Mungkin libido/semangat mengajarku berlebihan, sehinga porsi untuk keluarga terkesampingkan.

Kejadian itu ternyata kembali membangkitkan renungku, bahwa anak dan istriku juga punya hak atas kasih dan sayang serta sentuhan didikan dari diriku. Terus terang rasa haru kini menyelimuti, aku telah berbuat salah pada anak dan istriku. Aku membayangkan bagaimana perasaan Lukman, Jaja dan Nita ketika ayahnya lebih peduli pada anak-anak sekolahannya. Aku merasa bersalah, jarang menyentuh dan membelainya, mengajari huruf demi huruf untuk dirangkai menjadi kata. Aku jarang bermain bergurau bersama mereka, hari-hariku seakan habis untuk memikirkan anak-anak sekolah yang sedang menderita. Aku kenapa lebih mudah mengeluarkan uang sisa honor untuk anak-anak sekolah itu daripada untuk membelikan mainan dan oleh-oleh untuk anak-anakku.

Kejadian itu membuatku tersadar bahwa aku Bapak untuk anak-anakku dan juga untuk anak-anak sekolah. Ma’afkan aku wahai buah hati dan belahan jiwaku bila selama ini aku melupakanmu. Namun sedikitpun aku tak sengaja melupakanmu, namun terlalu sayangnya aku pada saudara-saudaramu yang ada disekolah, hingga aku meninggalkan rasa padamu. Aku berjanji untuk kembali menjadi ayah yang sejati bagi kalian dan juga untuk anak-anak sekolahan’.

Akhirnya lelaki kurus itu mengusap air matanya yang perlahan menetes membasahi pipinya yang kering oleh tingginya keinginan. Perlahan guru sederhana itu bangkit menuju lurusnya arah, kembali kerumah. Kesadaranya kembali pada titik seimbang antara kewajiban sebagai seorang ayah dan guru kehidupan. Sambil berjalan perlahan terangkai puisi kehidupan sesosok guru yang ingin mengabdi. (Tanda S)

RENUNGKU

Segala yang ada kuulurkan untuk tanganmu yang lemah tak berdaya

Kuharap tanganku yang kurus ini mampu membimbingmu perlahan

Setapak demi setapak melangkah menuju perubahan

Langkahmu tak seperti yang diharapkan

Terlalu lamban tak bertenaga

Kan terus kucoba untuk membimbingmu hingga digerbang kebangkitan

Dirimu mampu memapah diri sendiri

Ijinkan aku untuk sementara

Berbagi rasa pada cinta-cinta yang mengembara

Mari bersama-sama untuk menjadikan diri kita melangkah seimbang bersama

1 thoughts on “Renungan Guru

  1. LULU : LUGU DAN LUGAS

    Semua anak dilahirkan di dalam kehidupan ini yang bahagia karena membahagiakan semua orang yang ada di dalam lingkungan. Anak yang lahir memang menjadi kebahagian yang sangat disyukuri, karena itu sebagai tanda dari kebesaran Allah sebagai Pencipta alam semesta ini.

    Lulu anaknya kecil mungkin lugu dan linca itu, selalu memberikan inspirasi pada teman-teman untuk sesuatu yang membuat temanya menjadi tertarik. Ada kecenderungan menjadi anak yang selalu menjadi inisiator terhadap teman-temannya.

    Lulu yang menjadi kepanjang anak yang lugu dan lugas. Lugu karena penampilannya yang lugu, seolah-olah tidak ada sesuatu yang dia pikirkan dan segala sesuatu itu dilakukan tidak ada pretensi apa-apa, apa adanya. Sehingga dia tidak merasakan beban dan terbebani pada permsalahan atau tugas dari sekolah.Bisa dia kerjakan, tidak bisa dia tinggalkan hal itu mungkin yang terlihat dalam pelajaran kreatif dan melukis.

    Dalam pelajaran melukis lulu tidak pernah menyelesaikan karya secara tuntas, dia hanya melakukannya sekedarnya. Dan dia merasakan tidak terbebani kalau dia tidak menyelesaikan karya lukisannya. Mungkin karena dia masih banyak yang ingin dia rasakan di dalam lingkungan sekolah.

    Lulu juga mencoba menari perhatian teman dan gurunya dengan berbagai macam cara, tanpa dia merasa berdosa atau bersalah karena melanggar dan ketentuan yang ada. Itu yang menjadi keluguan yang sekaligu kelugasnya untuk menyatakan dirinya bahwa dia ingin tahu sejauh mana apa-apa yang dikerjakan atau dilakukan itu mendapat respon positif atau negatif. Itu yang selalu dia lakukan pada teman dan gurunya.

    Kelugasnya kadang membuat dia menjadi anak yang tidak mau kalah dengan temannya, seolah dia leader dari yang lain. Lulu adalah ketua yang harus diikuti oleh temannya dan kelihatnnya teman-temannya merasakan hal itu sebagai sesuatu yang menjadi kebanggaannya.

    Lugasnya Lulu menjadi dirinya seorang anak yang suka melawan dan baik hati pada temannya. Melawan menjadi bagian pelajaran bagi dirinya, karena dengan melawan dia akan tahu siapa sebenarnya temannya itu atau gurunya itu. Baik hati karena dia sangat perhatian terhadap teman atau gurunya sebagai bagian dari pembelajarannya.

    Lulu selain belajaran dalam pengertian sekolah, dia belajar dalam pengertian yang sebenarnya. Artinya kaidah-kaidah yang dia dapat dari belajaran itu memang menjadi kaidah yang begitu melekat yang dapat dia pahami. Jadi pelajaran yang dia lakukan kadang mengandung resiko dan membuat orang tidak nyaman, terutama guru.

Tinggalkan Balasan ke wiratno Batalkan balasan